Pembangunan pagar laut yang membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Tangerang, Banten, telah menjadi sorotan publik. Pagar ini, yang diduga dibangun tanpa izin, melibatkan sejumlah nelayan setempat yang diupah harian sebesar Rp100.000 hingga Rp110.000. Keberadaan pagar ini menimbulkan berbagai pertanyaan, termasuk dugaan keterlibatan aparat dalam proyek yang masih misterius ini.

1. Awal Mula Pembangunan Pagar

Pembangunan pagar laut ini diketahui telah berlangsung sejak Juli 2024, namun baru viral pada awal Januari 2025. Para nelayan di Desa Ketapang mengungkapkan bahwa mereka pertama kali menyadari adanya pembangunan pagar ketika melihat tiang bambu dipasang di dekat pelabuhan. Awalnya, mereka mengira bahwa proyek tersebut adalah bagian dari program pemerintah. Namun, seiring berjalannya waktu, pagar tersebut mulai membentang secara masif dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan nelayan.

2. Ancaman Terhadap Nelayan

Beberapa nelayan melaporkan bahwa mereka diancam setelah mencoba melayangkan protes terhadap pembangunan pagar. Mereka mengaku telah mengirim perwakilan untuk meminta penghentian proyek tersebut, tetapi tidak mendapatkan respons yang memadai. Bahkan, setelah protes, sekelompok orang tak dikenal mendatangi kampung mereka, menambah ketakutan di kalangan nelayan. “Kami dianggap provokator ketika mencoba menyuarakan keberatan,” ungkap salah satu nelayan.

3. Upah Harian dan Keterlibatan Aparat

Nelayan yang terlibat dalam pembangunan pagar mengaku menerima upah harian sekitar Rp100.000. Namun, mereka mempertanyakan dari mana dana untuk membeli bahan-bahan seperti bambu dan jaring, serta biaya transportasi untuk proyek yang memakan waktu hingga enam bulan ini. “Kami tidak menyalahkan pekerja, tetapi pengembang yang membayar,” kata seorang nelayan.

Kepala Perwakilan Ombudsman Wilayah Banten, Fadli Afriadi, juga mengonfirmasi bahwa mereka telah mendapatkan informasi mengenai keterlibatan aparat desa dalam proyek ini. “Aparat desa terlihat lebih berpihak pada pemilik modal,” ujarnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ada kolusi antara pihak berwenang dan pengembang.

4. Dampak Terhadap Nelayan

Keberadaan pagar laut ini berdampak negatif bagi nelayan setempat. Mereka harus memperpanjang jarak tempuh saat melaut, yang berimbas pada pendapatan mereka. Sebelumnya, nelayan bisa mendapatkan sekitar Rp150.000 per hari, namun kini pendapatan mereka menurun drastis menjadi sekitar Rp70.000. “Biaya solar juga meningkat, membuat kami semakin sulit,” keluh salah satu nelayan.

5. Tindakan Pemerintah

Setelah mendapatkan perhatian publik, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menurunkan tim untuk menyelidiki keberadaan pagar tersebut. Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Pung Nugroho Saksono, menyatakan bahwa pihaknya sedang menggali informasi lebih lanjut mengenai pemilik pagar. “Kami akan melaporkan temuan ini kepada pimpinan untuk ditindaklanjuti,” ujarnya.

Pagar laut yang terbuat dari bambu dan jaring ini terlihat rapuh dan tidak terpasang dengan baik. Beberapa nelayan berpendapat bahwa pagar tersebut hanya berfungsi sebagai penanda penguasaan lahan, bukan sebagai struktur yang efektif untuk melindungi pantai dari abrasi.

Kasus pagar laut di Tangerang ini mencerminkan kompleksitas masalah yang dihadapi nelayan setempat, mulai dari ancaman terhadap keselamatan mereka hingga dampak ekonomi yang signifikan. Keterlibatan aparat dalam proyek ini juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya laut.

Diharapkan, dengan adanya perhatian dari pemerintah dan masyarakat, masalah ini dapat diselesaikan dengan baik demi kesejahteraan nelayan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka.